Sunday, April 22, 2007

Adek, Abang, Istri Abang dan Ikan Teri

[sebuah memori yang tak ingin terlupa]

Siang itu, adek berkunjung ke rumah abang dan istri abang. Istri abang sedang sakit, baru dioperasi. Sangat kebetulan, abang dan istrinya sedang bersiap-siap untuk makan siang. Adek pun diajak, dan mereka makan siang bersama.

"Seadanya aja ya dek, soalnya istri abang lagi nggak bisa masak. Belum pulih betul. " Abang merendah.

"Wah, ini juga udah alhamdulillah bang." Sahut adek.

Beberapa menit berlalu. Adek masih sangat menikmati masakan rumah buatan abang. Bagi mahasiswa rantau yang tidak pandai memasak seperti dia, ini kesempatan gemilang. Lauknya semacam daging kecil-kecil dibungkus dengan tepung yang digoreng.

"Ikan terinya enak nih bang..." adek akhirnya berkomentar, memuji masakan abang, sambil terus khusyu' menikmati masakan abang.

Samar-samar, ekspresi abang terasa agak aneh. Adek hanya melihat sekilas, kurang memperhatikan. Sekilas ia juga mendapati istri abang tertawa kecil di samping abang.

"Tuh kan bang, udah adik bilang, hati-hati, ayamnya jangan kebanyakan garamnya." Komentar istri abang, masih diiringi tawa kecilnya.

"Iya... maklum ini baru belajar masak." Sahut abang, masih dengan ekspresi anehnya, mungkin ekspresi malu.

Adek malu dalam hati. "Tapi bener kok bang, ini enak kok..." Komentar adek jujur, menguatkan komentarnya yang sebelumnya.

Menurut adek, "ikan teri"nya memang benar enak.


-Buah rindu dalam pigura ukhuwah: "Maka kuatkanlah pertaliannya, abadikanlah kasih sayangnya..."-

::: ~purplepawn's pic at deviantart :::

Monday, April 02, 2007

[Kembali] Menyambut Hari

Teman,
Pernahkah kau bertanya-tanya, apa yang 'kan terjadi, jika matahari berhenti bersinar?
Atau, rasa apa yang akan kau lukis dalam hatimu, jika itu terjadi?

Pagi itu, semburat mentari masih tetap indah, tersipu malu menyisir malam. Sinar lembutnya masih tetap setia merona, berseri-seri. Menandai hari baru, bagi semua makhluk untuk menelusurinya bersama.

Pagi itu, tak terhitung harapan yang masih tersedia. Rezeki di muka bumi masih tetap menghampar dan bertaburan. Karunia-Nya, masih senantiasa dilimpahkan.

Dunia ini, masih belum berakhir eksistensinya. Umur kita, masih mengizinkan kita menikmati hari-hari, yang berlimpahan karunia.

~pic from deviantart~

Friday, March 30, 2007

Thursday, March 08, 2007

Ketika Asmara Tak Jemu Menyapa

Berulang kali sudah dalam hidupnya, laki-laki itu jatuh cinta. Entah sekedar ketertarikan sekilas atau pun sampai kepada perasaan berbunga-bunga yang membayangi hari-harinya.

Perjalanannya di sana mungkin kembali ke awal umur belasannya, ketika lawan jenis telah terasa menarik baginya. Di saat-saat itu, ia membiarkan cinta bunga-bunga asmara bermekaran di hatinya. Bahkan, ia sangat sering menyiraminya dengan angan-angan semu yang menyejukkan sementara. Itulah mawaddah, ketika asmara begitu bergelora. Dan, layaknya cinta yang hanya berbasis ketertarikan semata, ia pun lekas pudar.

Bukan karena ia membiarkannya pudar begitu saja. Hampir tiap kali asmara menyapanya, ia balas sapaannya, terus ia sirami bunganya. Tapi, hatinya juga bertanya-tanya. Apakah sudah pantas, apakah sudah siap. Lalu mau ke mana setelah asmara sudah terekspresi lugas? Lalu mau ke mana lagi? Lalu mau ke mana lagi? Begitu terjadi selanjutnya, dan selanjutnya, hingga berulang kali. Sampai ia berkesimpulan, banyak yang ia belum cukup siap untuk menghadapi.

Umur belasan remaja itu pun sudah hampir berakhir. Saat-saat di mana ia coba menengok kembali yang telah terjadi. Saat-saat ia belajar, bahwa rasa-rasa indah belum dengan arti yang sebenar, tapi cukup menguras tenaga dan pikiran.

Disana, ia belajar, bahwa cinta bukan sekedar mawaddah yang bergelora. Tapi juga rahmah, serta segala tanggung jawab yang mengikuti. Saat ia coba mengerti, belum saatnya ia di sana.

Saat itu, dan hingga kini, ia hanya bisa tersenyum ketika sang asmara menyapanya kembali. "Terima kasih, wahai cinta. Engkau membawa arti aku seorang yang normal." Tapi, ia masih enggan (dan memang belum bisa) untuk membalas kembali sapaan sang asmara seperti dulu.
Ia hanya bisa berkata pada sang asmara, "kutunggu kembali sapaanmu, jika saatnya sudah tepat. Di sana, mungkin kau tak perlu menyapaku. Aku yang akan menyapamu sepenuh hati, sewajarnya. Di sana, 'kan kunanti balasan sapaan lembut darimu, untuk sepanjang sisa hidupku."

Mungkin, asmara 'kan terus menyapanya, dari waktu ke waktu. Sampai waktunya tepat, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Saat ridha, berkah, rahmah serta tanggung jawab bisa ia penuhi.


~ Untuk seorang teman: "mungkin, kita hanya mampu 'tuk terus belajar, saat rasa itu tak jemu menyapa kita" ~


- - - - - -
pic by =Liek at deviantart.com

Sunday, February 18, 2007

Episode Tak Berpamrih

Lirih, ia coba 'tuk tetap mengungkap cinta.
Apatah mengharap simpati, penolakan (dan selebihnya) adalah hal (yang selamanya 'kan tetap) biasa.
Tapi perilaku, hati dan lisannya ia coba 'tuk terus ekspresikan cinta.

Ah, kenapa kawan?
Karena sejati cinta adalah mencurah, bukan mengharap. Begitu ia jawab.


- - - - -
Mengenang episode kepergian Seorang Pecinta Sejati (SAW): "Ummati, Ummati, Ummati..." ("Ummatku, Ummatku, Ummatku...")




= = = = = =
Pic by *BatDesignZ at deviantart.com