Showing posts with label Hikmah. Show all posts
Showing posts with label Hikmah. Show all posts

Wednesday, August 08, 2007

Bila Pintunya Tertutup


http://www.senikehidupan.com

Monday, April 02, 2007

[Kembali] Menyambut Hari

Teman,
Pernahkah kau bertanya-tanya, apa yang 'kan terjadi, jika matahari berhenti bersinar?
Atau, rasa apa yang akan kau lukis dalam hatimu, jika itu terjadi?

Pagi itu, semburat mentari masih tetap indah, tersipu malu menyisir malam. Sinar lembutnya masih tetap setia merona, berseri-seri. Menandai hari baru, bagi semua makhluk untuk menelusurinya bersama.

Pagi itu, tak terhitung harapan yang masih tersedia. Rezeki di muka bumi masih tetap menghampar dan bertaburan. Karunia-Nya, masih senantiasa dilimpahkan.

Dunia ini, masih belum berakhir eksistensinya. Umur kita, masih mengizinkan kita menikmati hari-hari, yang berlimpahan karunia.

~pic from deviantart~

Thursday, March 08, 2007

Ketika Asmara Tak Jemu Menyapa

Berulang kali sudah dalam hidupnya, laki-laki itu jatuh cinta. Entah sekedar ketertarikan sekilas atau pun sampai kepada perasaan berbunga-bunga yang membayangi hari-harinya.

Perjalanannya di sana mungkin kembali ke awal umur belasannya, ketika lawan jenis telah terasa menarik baginya. Di saat-saat itu, ia membiarkan cinta bunga-bunga asmara bermekaran di hatinya. Bahkan, ia sangat sering menyiraminya dengan angan-angan semu yang menyejukkan sementara. Itulah mawaddah, ketika asmara begitu bergelora. Dan, layaknya cinta yang hanya berbasis ketertarikan semata, ia pun lekas pudar.

Bukan karena ia membiarkannya pudar begitu saja. Hampir tiap kali asmara menyapanya, ia balas sapaannya, terus ia sirami bunganya. Tapi, hatinya juga bertanya-tanya. Apakah sudah pantas, apakah sudah siap. Lalu mau ke mana setelah asmara sudah terekspresi lugas? Lalu mau ke mana lagi? Lalu mau ke mana lagi? Begitu terjadi selanjutnya, dan selanjutnya, hingga berulang kali. Sampai ia berkesimpulan, banyak yang ia belum cukup siap untuk menghadapi.

Umur belasan remaja itu pun sudah hampir berakhir. Saat-saat di mana ia coba menengok kembali yang telah terjadi. Saat-saat ia belajar, bahwa rasa-rasa indah belum dengan arti yang sebenar, tapi cukup menguras tenaga dan pikiran.

Disana, ia belajar, bahwa cinta bukan sekedar mawaddah yang bergelora. Tapi juga rahmah, serta segala tanggung jawab yang mengikuti. Saat ia coba mengerti, belum saatnya ia di sana.

Saat itu, dan hingga kini, ia hanya bisa tersenyum ketika sang asmara menyapanya kembali. "Terima kasih, wahai cinta. Engkau membawa arti aku seorang yang normal." Tapi, ia masih enggan (dan memang belum bisa) untuk membalas kembali sapaan sang asmara seperti dulu.
Ia hanya bisa berkata pada sang asmara, "kutunggu kembali sapaanmu, jika saatnya sudah tepat. Di sana, mungkin kau tak perlu menyapaku. Aku yang akan menyapamu sepenuh hati, sewajarnya. Di sana, 'kan kunanti balasan sapaan lembut darimu, untuk sepanjang sisa hidupku."

Mungkin, asmara 'kan terus menyapanya, dari waktu ke waktu. Sampai waktunya tepat, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Saat ridha, berkah, rahmah serta tanggung jawab bisa ia penuhi.


~ Untuk seorang teman: "mungkin, kita hanya mampu 'tuk terus belajar, saat rasa itu tak jemu menyapa kita" ~


- - - - - -
pic by =Liek at deviantart.com

Thursday, February 15, 2007

Bunga di Hari-Hari Cinta


Jika ada kuntuman bunga di hari-hari cinta...
Mudah-mudahan adalah bunga-bunga empati,
nasehat, dan doa


Tuesday, February 13, 2007

Tapak-Tapak Kecil di Lorong Nan Panjang

Tahu-tahu, ia sudah berada di lorong berliku, sunyi nan panjang itu. Awalnya ia ingin membelot ke belakang, khawatir tak kuasa menahan berbagai tribulasi yang menghadang. Batu-batu kerikil, batu-batu besar, lubang kecil dan besar, onak dan duri (ia tahu) 'kan terus menantinya waktu demi waktu di sepanjang jalan.

Ia menoleh ke belakang. Ia temukan pangkal lorong yang sudah jauh, kecil terlihat. Yang ada hanya kegelapan suram yang menakutkan di sana. Ia berbalik menoleh ke depan, dilihatnya sinar benderang kebahagiaan di ujung lorong itu, masih jauh jua jaraknya. Ia putuskan untuk tak kembali kepada suramnya dunia.

Segenap keberanian coba ia himpun. Ia tapaki lorong itu, coba menginjaki kerikil-kerikil, dan mengubahnya jadi pasir, jika ia mampu. Duri-duri pernah membuat kakinya berdarah kecil, tak surutkan langkah-langkah kecilnya. Ia masih berbahagia, sinar putih di ujung lorong sedikit demi sedikit kian terang seiring laju langkahnya.

Seketika ia tersandung sebuah batu besar, dan jatuh ke dalam lubang yang cukup besar berduri. Kakinya dan tangannya terluka dan bengkak. Sakit. Payah, ia coba panjati lubang itu, 'tuk kemudian terus melaju dengan menyeretkan kakinya. Ia merintih. Jalannya terhenti. Ia ingin putuskan untuk berhenti di sana.

Dalam merana, ada tangan terulur di sana. Ada senyum, sapaan ramah, dan seruan-seruan bijak nan menyejukkan hati, "bertahanlah, sahabat...". Masih beserta rembesan air mata, ia dirangkul untuk berjalan bersama, sampai ia kuat tapakkan kakinya sendiri.

Kawan,
Lorong itu sunyi, berliku dan panjang. Ia mendengar, juga menyaksikan kisah-kisah "jatuh" para musafir iman di sana, seperti yang sempat ia alami pula.

Tapi kawan,
Ia masih tetap bisa berbahagia. Ada bertangkaian bunga-bunga mawar, sakura, anggrek yang indah warna-warni, yang bisa ia peroleh dari taman-taman ukhuwah di sepanjang jalannya. Untuk ia dekap, beriring tetesan jernih nan lembut dari ujung-ujung matanya yang semakin menyegarkan tiap-tiap kuntumnya.

Wahai musafir, kekallah engkau di lorong itu...
Hidupmu, dan matimu...

Walaupun hidup ini duka, kita punya luka
Walaupun hidup ini cinta, kita t'lah bertegur sapa

Tapi mengapa kita terhenti?
Sedang matahari pun bergegas mengejar mimpi?
-Snada-

~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
-Sebuah tribute untuk setiap insan, di sebuah perjalanan nan panjang-


= = = = = = = = =
Pic by =MOSREDNA at deviantart.com 'out of the dark'

Tuesday, January 30, 2007

Jejak Lemah Seorang Pribadi Soliter

Hmm... kehidupan yang baru. Terbersit rasa berbahagia dalam benaknya ketika mendengar karib-kerabatnya telah (dan sedang menuju) sebuah fase kehidupan yang berbeda; yang berikutnya. Namun, bukan itu yang menjadi pikiran utamanya. Ada hal lain yang memboncengi pikirannya.

Untuk ke-sekian kali dalam hidupnya, hal itu kembali membayang dalam benaknya. Bayangan tentang fase-fase kehidupan manusia: lahir, tumbuh sebagai anak-anak, remaja, dewasa, berkeluarga dengan segala hiruk-pikuknya, lalu menjadi tua, semakin melemah, sampai akhirnya habis masa hidupnya di dunia; ketika DIA memutuskan kesempatan manusia untuk beramal. Ah... cepat sekali rasanya. Mungkin lima belas tahun tidak akan lama, lalu dua puluh tahun, lalu... lalu...

Ia teringat,

"...sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu."
(QS Al Hadid 57: 20)

Ia membiarkan tetesan bening mengalir dari sudut matanya. Ia bertanya dalam diam, 'apa siap nanti kalau masa hidup ini sudah berakhir?'.

Tubuhnya sedang lemah saat itu. Selemah ruhiyahnya. Selemah jiwanya yang kala itu berduka lepas ditimpa badai cobaan di titik lemah dirinya. Namun, air bening itu menyisakan senyum di bibirnya. Hatinya lebih tentram.

Ia pun membiarkan bayang-bayang tadi membawa pikirannya kembali terbang.

Bayang-bayang itu pun kembali mengusung pikirannya menelusuri ke lembaran lain dalam hidupnya.

'Ada orang-orang shalih di sekitarmu'.

'Percuma', ia menanggapi batinnya. Teman, kerabat, atau siapa pun tidak bisa menyelamatkan diri ini di hari itu.

"Sekali lagi, tahukah kamu apakah hari pembalasan itu? (Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain..."
(QS. 82: 18-19)
Ya, tiap jiwa kita adalah soliter, batinnya. Perhitungan amal kita nanti, adalah masing-masing.

* * * * *

Seorang kawannya tiba-tiba mengucap salam dan bertanya kabarnya. Dia menjawab seperlunya. Obrolan mereka lalu berkisar tentang kuliah kawannya, tentang repotnya skripsi dan sejenisnya. Dia mengiba. Kembali ia teringat kawan lain yang tidak ikut ujian di satu mata kuliahnya karena sakit dan sedang kesulitan me-lobby dosennya untuk bisa ikut ujian susulan. Mereka sama-sama meminta support doa darinya.

Aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mereka, batinnya. Mungkin hanya sekedar empati dan doa, tidak banyak. Mungkin tidak seberapa. Mungkin tidak seberapa.

Ia tetap ingin...

* * * * *

Ia melangkah keluar ketika makmum lain masih berdzikir, selepas shalat yang terasa nikmat baginya. Ia bersyukur masih bisa berada di shaff yang sedikit itu. Jiwanya kembali tersenyum tentram. Ia masih ingin 'mendistribusikan' kebaikan, kepada dan bersama teman-kerabatnya. Ia ingin kembali 'terbang'.

Kala itu, ia ingin kembali mengutip syair dari sebuah senandung,

Selamat tinggal wahai dunia duka
Selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya
Takkan mati karena lukanya

Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu telah meninggalkan diriku
'Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena aku muslim, yang membumbung dengan iman

* * * * *

Rabb, izinkan ia kembali. Untuk kembali dan tetap menyemai kebaikan, kepada dan bersama orang-orang di sekitarnya. Seperti yang ia citakan. Sekarang, dan seterusnya.


= = = = = = = = = = = =
ps. pic 'solitary' by PhoeniX252 at deviantart.com

Tuesday, January 23, 2007

Balada Sariawan dan Kecutnya Jus Jeruk

OrjusBeda budaya memang suka bikin shock. Alkisah, waktu itu saya bertamu ke rumah seorang teman yang cukup baru saya kenal. Dia orang Arab (Arab asli, dia ga bisa bahasa indo). Waktu itu para tamu disuguhi jus jeruk (yg konon agak-agak sepet dan dingin). Wah, lagi sariawan nih, jadi minumnya sedikit-sedikit. Dan kebetulan saya juga kurang suka sama jus jeruk yang seringkali lebih banyak sepetnya daripada manisnya (hehe.. maaf nih para penggemar jus jeruk).

Dislike1 Sekitar 20-30 menit kemudian, tau-taunya gelasnya mau dibalikin ke dapur sama orangnya, akhirnya saya disuruh ngabisin sama dia dengan "sedikit pemaksaan". Kaget juga, baru kali ini bertamu disuruh kembaliin gelasnya. Akhirnya dengan sedikit "tersiksa" (karena sepet plus sariawan sekaligus malu karena saya disangka gengsi ngabisin jus jeruknya), saya pun menenggak habis jus jeruk tersebut. Perasaan saya ga enak juga, agak kesal dipaksa campur malu pula karena "dipaksa" di depan tamu yang lain. Saya cuma bisa senyum-senyum kesal dan malu setelah itu.

Alhamdulillah, acara bertamu udah hampir selesai, saya pun coba untuk happy-happy aja, tetap tersenyum. Sedikit saya candai teman tamu yang lain, jadi saya agak happy (hehehe...). Sampai akhir, kenalan lebih jauh dengan tamu yang lain, akhirnya suntuk yg saya bawa waktu datang pun menghilang, alhamdulillah. Akhirnya saya berhasil bilang pada hati saya, mungkin beginilah karakter orang Arab; pantang ditolak kemurahan hatinya.

"Termasuk sifat angkuh adalah seseorang yang masuk ke dalam rumah temannya, lalu disuguhkan kepadanya makanan, ia tidak mau memakannya..."

(HR. Ad Dailami)

Ya Allah, bukan maksud hamba mau sombong :(, cuma malu dan kebetulan kurang suka aja. Tapi alhamdulillah semua itu ada hikmahnya, mudah-mudahan ukhuwah kami semakin kental, minimal saya bisa lebih memahami karakter saudara yg lain.

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

(QS. Al Hujurat: 13)

Astaghfirullah....

= = = = = = = = = = = = = = = =

~pic from flickr & xanga~

Kala Mentari Gagah Dengan Teriknya

Wawan terbangun panik. Diintipnya luar jendela, mentari sudah gagah meninggi bersinar dengan teriknya. Terburu-buru dia lompat dari tempat tidurnya ke kamar mandi, basuh tubuhnya dengan air wudhu lalu shalat subuh.

= = = = = = = = = = = = = = = = =

Ia dapati dirinya termenung selepas dzikir, teringat nasihat Ustadz Abu Aminah tempo hari. "Tidur kita di dalam kubur nanti tidak akan lama. Tahu-tahu, kita akan kembali dibangkitkan dalam keadaan panik. Segala sesuatunya sudah rata, takkan ada lagi gundukan-gundukan gunung. Semua orang akan berlari-larian satu sama lain."

"...pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari istri dan anak-anaknya.Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya."
(QS. 'Abasa 80: 34-37)


Ustadz Abu melanjut, "lalu kita akan dikumpulkan di sebuah padang. Dalam tegang, kita akan berkeringat. Sebagian sampai mata kaki, sebagian sampai dagu, atau menutupi seluruh tubuhnya..."

Wawan gemetar. Ia takut. Ia ingin menangis, tapi air matanya tak kunjung keluar. Ia sadar, mungkin dosanya terlalu menumpuk untuk mengizinkannya menangis.

Ia pun menangisi air matanya yang tak kunjung menetes.

"Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari (lantaran dahsyatnya)"
(QS. An Nazi'at 79: 46).



- - - - - - - - - - - - - -
~Salam Hangat Bagi Jiwa-Jiwa Yang Terlelap: Bangun Yuks^_^~

ps. Pic "sweat" by
~Rafaelbfalconi at deviantart.com

Rizki Bagi Pemuda Melayu

Malam masih malu beranjak. Di antara keremangan lampu, pemuda kalem itu berjalan menjauhi masjid. Dia menoleh dan mendekati kendaraan itu ketika mendengar bunyi klakson dibunyikan seorang pengemudi.

"Aahh... assalamu'alaikum. Lama tidak ketemu," sapanya ramah.

"Wa 'alaikumussalam," si pengemudi menjawab salam sambil tersenyum.

Setelah bertanya kabar, si pengendara bertanya, "kamu sekarang tinggal di sebelah sana?" sambil bergumam dalam hati, "ini arah yang berbeda dari asrama mahasiswa tempat tinggal saudara ini yg terakhir saya ketahui."

Pemuda kalem itu menjawab, "Iya, di jalan yang di seberang sana."

"Oya?" Si pengendara terkejut gembira. "Ada berapa rumah di sana yang kalian tempati? Ada berapa orang?" tanya sang pengendara, ingin menjawab curiosity-nya. Cukup sering dia melihat mahasiswa Melayu ini di lingkungan itu.

"Ada tiga kontrakan. Tiap kontrakan kami huni berempat, jadi ada 12 orang. Dua kontrakan laki-laki, satu kontrakan perempuan." jawab pemuda Melayu itu.

"Wow, alhamdulillah. Asik dong." Jawab si pengendara.

"Alhamdulillah..." si kalem menimpali.

"Masya Allah..." timpal si pengendara lagi, sebelum akhirnya pamitan.

Ada rasa iri di benak pengendara itu. Dia teringat dulu pernah mendaftar untuk jadi penghuni salah satu kontrakan persis di daerah pemuda Melayu tadi. Dekat masjid. Pendaftarannya tidak diterima. Rupanya Allah lebih menghendaki mereka menetapi daerah yang menurutnya ideal itu. Rumah kontrakan dua kamar di daerah itu cukup mahal untuk dihuni dua orang, tapi tergolong sangat murah jika patungan empat orang.


Si pengendara terus melaju dengan menyusuri udara subuh. Dia teringat cerita yang pernah didengarnya tentang dikuranginya jatah beasiswa para mahasiswa Melayu oleh sponsor mereka, dengan beberapa cerita kesulitan lain tentang sebagian dari mereka. Si pengendara bergumam, mungkin ini jawaban doa mereka. Mungkin pemuda-pemudi shalih/shalihah itu tak henti berdoa setelah itu dengan penuh harap dan cemas atas kesulitannya, dan Allah menjawabnya dengan keadaan yang kebalikannya.

"...Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya, dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya..."
(QS. Ath Thalaq: 2-3)

Pemuda itu sudah tiba di rumah kontrakannya. Lantunan al-Quran terdengar menemani pagi di sana.