Thursday, March 08, 2007

Ketika Asmara Tak Jemu Menyapa

Berulang kali sudah dalam hidupnya, laki-laki itu jatuh cinta. Entah sekedar ketertarikan sekilas atau pun sampai kepada perasaan berbunga-bunga yang membayangi hari-harinya.

Perjalanannya di sana mungkin kembali ke awal umur belasannya, ketika lawan jenis telah terasa menarik baginya. Di saat-saat itu, ia membiarkan cinta bunga-bunga asmara bermekaran di hatinya. Bahkan, ia sangat sering menyiraminya dengan angan-angan semu yang menyejukkan sementara. Itulah mawaddah, ketika asmara begitu bergelora. Dan, layaknya cinta yang hanya berbasis ketertarikan semata, ia pun lekas pudar.

Bukan karena ia membiarkannya pudar begitu saja. Hampir tiap kali asmara menyapanya, ia balas sapaannya, terus ia sirami bunganya. Tapi, hatinya juga bertanya-tanya. Apakah sudah pantas, apakah sudah siap. Lalu mau ke mana setelah asmara sudah terekspresi lugas? Lalu mau ke mana lagi? Lalu mau ke mana lagi? Begitu terjadi selanjutnya, dan selanjutnya, hingga berulang kali. Sampai ia berkesimpulan, banyak yang ia belum cukup siap untuk menghadapi.

Umur belasan remaja itu pun sudah hampir berakhir. Saat-saat di mana ia coba menengok kembali yang telah terjadi. Saat-saat ia belajar, bahwa rasa-rasa indah belum dengan arti yang sebenar, tapi cukup menguras tenaga dan pikiran.

Disana, ia belajar, bahwa cinta bukan sekedar mawaddah yang bergelora. Tapi juga rahmah, serta segala tanggung jawab yang mengikuti. Saat ia coba mengerti, belum saatnya ia di sana.

Saat itu, dan hingga kini, ia hanya bisa tersenyum ketika sang asmara menyapanya kembali. "Terima kasih, wahai cinta. Engkau membawa arti aku seorang yang normal." Tapi, ia masih enggan (dan memang belum bisa) untuk membalas kembali sapaan sang asmara seperti dulu.
Ia hanya bisa berkata pada sang asmara, "kutunggu kembali sapaanmu, jika saatnya sudah tepat. Di sana, mungkin kau tak perlu menyapaku. Aku yang akan menyapamu sepenuh hati, sewajarnya. Di sana, 'kan kunanti balasan sapaan lembut darimu, untuk sepanjang sisa hidupku."

Mungkin, asmara 'kan terus menyapanya, dari waktu ke waktu. Sampai waktunya tepat, mungkin hanya itu yang bisa ia lakukan. Saat ridha, berkah, rahmah serta tanggung jawab bisa ia penuhi.


~ Untuk seorang teman: "mungkin, kita hanya mampu 'tuk terus belajar, saat rasa itu tak jemu menyapa kita" ~


- - - - - -
pic by =Liek at deviantart.com

2 comments:

Mashuri said...

Kisah cinta Majnun dan Laila sangat terkenal. Cinta Majnun kepada Laila telah membunuh dirinya sendiri. Sementara Qarun, dibunuh oleh cintanya kepada kekayaan, dan Firaun dibunuh oleh cintanya kepada kekuasaan. Di sisi lain, ada Hamzah, Ja'far, dan Hanzalah yang rela mati demi cintanya kepada Allah dan utusan-Nya.

Don't be sad (page 320).

Andarini Ekaputri said...

Hehe..postingannya tepat menancap di hati. Duh, keren deh..Huhuhu,,jadi terharu...

Aq pasti bakal terus belajar kok.
Smangaat!